Quarter Life Crisis? Siapa Takut!
Tak jarang, dulu saat kita masih kecil,
ingin sekali segera tumbuh menjadi dewasa. Melihat kehidupan orang dewasa yang
hidup dengan lebih bebas tanpa ada aturan yang sangat mengikat, seperti harus
tidur siang, mengerjakan pr, makan tepat waktu. bisa main kapanpun dan
kemanapun bersama teman-teman, bisa jadi dokter, pilot, polisi dan pekerjaan
keren yang lainnya. Wahhh, indah sekali pokoknya bayangan menjadi orang dewasa
dulu. Namun, saat sudah memasuki masanya, tak jarang juga yang ingin kembali
lagi ke masa kanak-kanak, dimana semua sudah diatur, ngga pusing mikir nanti
makan apa, siang pulang sekolah bisa tidur, gizi masih ada yang mengatur, hal
terberat yang dipikirkan hanyalah pr dari ibu dan bapak guru dan tidak pusing
menentukan harus melangkah kemana, karena semua sudah ada jalurnya, setelah TK
pasti lanjut ke SD, setelah SD lanjut ke SMP, setelah SMP lanjut ke SMA. Nah,
masa yang rawan adalah terjadi setelah SMA, karena masing-masing pasti akan
mempunyai jalannya sendiri, entah itu kuliah, bekerja, membuat usaha, atau
menikah? Jalur yang sudah ditentukan berhenti di situ, sisanya, hanyalah kita
yang bisa menentukan hendak melangkah ke jalur yang mana. Saat tahap inilah
muncul perasaan-perasaan yang tidak puas pada pencapaian diri, mulai
bertanya mengenai tujuan hidup, mulai membanding-bandingkan pencapaian diri
sendiri dengan orang lain, mulai merasa tidak punya teman, mulai merasakan
transisi kehidupan yang sangat berbeda dengan saat kanak-kanak dan remaja,
mulai bingung untuk menentukan pilihan harus melangkah ke arah yang mana, kadang juga terpikirkan apakah mimpi-mimpi
yang telah dirancang sebelumnya itu dapat direalisasikan. Banyaknya tekanan
dari segala penjuru saat menginjak umur kepala dua, membuat seseorang mengalami
perasaan yang tidak menentu dan kebingungan yang tak bisa dibendung, atau
sering disebut juga sebagai Quarter Life Crisis (QLC).
QLC merupakan suatu hal yang wajar menurutku, karena pada masa ini,
manusia memang dituntut untuk mencari jati diri dan perannya dalam kehidupan
saat menjadi manusia yang "utuh", karena di masa itu, manusia sudah
tidak lagi berjalan dengan dituntun oleh orang tuanya, kita hanya mengandalkan
diri kita sendiri, terlebih dalam hal mengambil keputusan. Menurut peneliti dan
pengajar Psikologi dari University of Greenwich, London, Dr. Oliver
Robinson, ada empat fase dalam QLC. Pertama, perasaan terjebak dalam suatu
situasi, entah itu pekerjaan, relasi, atau hal lainnya. Saat fase ini,
seseorang mulai merasa terjebak dalam situasi yang tidak ia kehendaki, sehingga
membuat ketidaknyamanan bagi dirinya sendiri dan berjuang dengan ekstra untuk
tetap bertahan dengan keadaan dan mencari lingkungan serta situasi baru yang
sesuai dengan apa yang orang itu impikan. Kedua, pikiran bahwa perubahan
mungkin saja terjadi, sehingga kita akan mencari perubahan itu, baik dari
lingkungan dan dari diri sendiri. Selanjutnya, periode membangun kembali
hidup yang baru. Yang terakhir adalah fase mengukuhkan komitmen anyar terkait
ketertarikan, aspirasi, dan nilai-nilai yang dipegang seseorang. Saat memasuki
fase yang terakhir, seseorang sudah yakin dan dapat memastikan kalau ia sudah
berada di tempat yang menurutnya tepat bagi dirinya dan siap berkontribusi
secara sadar dan nyata.
Tentu bukan hal yang
mudah bagi sebagian orang (termasuk aku) untuk melewati fase QLC tersebut.
Perlu usaha yang lebih ekstra dan perencanaan yang matang untuk melaluinya.
Selain itu, kita juga membutuhkan orang-orang yang memberikan positive
vibes bagi diri, sehingga kita akan termotivasi lebih untuk bangkit.
Pada suatu hari ku tak sengaja membaca
artikel medium yang diambil dari tulisan di bukunya, Smiley Poswolsky, yang
membahas tentang QLC: 10 Steps to Turn Your Quarter Life Crisis into a
Breakthrough. Dengan disertai visual yang menarik, dapat menarik ku untuk
membaca dan juga mengiyakan tulisan di artikel tersebut selama membacanya.
Berikut adalah ulasan untuk setiap langkahnya.
Selamat membacaa :D.
1. Stop Climbing the Ladder
Jadikan karir bukan hanya semata-mata
sebuah tangga yang lurus dan harus dinaiki setiap anak tangganya untuk mencapai
tujuan akhir, kadang, jika kita menjadikan karir hanya seperti tangga, kita tak
punya pilihan lain selain berjalan lurus dan menaiki anak tangga yang ada di
atasnya apapun keadaannya. Tapi jadikanlah karir seperti melompati daun-daun teratai
di atas danau untuk menuju ke suatu tujuan. Kita bisa memilih teratai mana yang
akan menjadi pijakan selanjutnya, tidak harus di depan, bisa di samping kiri
atau kanan, serong atau lurus, semua dapat dipilih sesuai dengan tujuan kita di
awal. Nantinya, kita akan bisa lebih fleksibel dengan pilihan kita dan tujuan
di depan masih akan tetap tercapai.
Mungkin fase ini pernah terjadi pada ku
kemarin, menerima tawaran mengajar di sekolah atau tetap di bimbingan belajar
dengan posisi yang sudah cukup 'baik' saat itu dengan menjadi staff. Namun, ku kembali mengingat
tujuan ku di awal and I've tried so hard for it. Cause I know, it will worth
to be fighted in the end.
"Make your twenties count by experimenting
with opportunities you actually care about."
2. Move Beyond FOMO (Fear of Missing Out)
Tak jarang dan pasti sering, kita
memikirkan sesuatu yang bukan lagi ranah kita untuk memikirkannya, yaitu
apalagi kalau bukan mengenai masalah masa depan. Sering juga kita merasa
tertinggal dan terbelakang, merasa orang-orang di sekeliling kita sudah
melangkah lebih jauh namun kita masih saja berdiam diri di tempat yang sama
saat teman yang lain telah memulai melangkahkan kakinya. Jujur ku akui, hal ini
adalah hal yang paling sulit dilakukan. Saat lulus kemarin, melihat teman ada
yang sudah berkarir dengan baik, lanjut kuliah di luar negeri, ada yang sudah
menikah bahkan punya anak. Namun aku? Ah... Sungguh, sulit sekali hal itu
dihindari. Tidak memikirkan jalan orang lain adalah suatu kunci yang harus
dikuasai diri. Tapi memang inilah fasenya, diri kita sendiri yang harus
menerima, diri kita sendiri yang harus memahami bahwa kita sudah punya jalan
masing-masing yang juga sama baiknya, bagi kita, terlebih lagi menurutNya.
Jadikan fase ini sebagai ajang memperbaiki diri, pelajari kebiasaan-kebiasaan
baiknya, apa yang membuatnya mengantarkan kepada kesuksesan. Lalu, segera kita
bercermin, kita kurang usaha apa? Sudahkah shalat yg benar? Sudahkah berdoa?
Sudahkah bersedekah? Sudahkah puasa? Sudahkah membantu orang tua? Sudahkah
meminta ridha orang terdekat atas segala jalan yang telah kita rencanakan?
Mungkin masih ada yang luput.. Maka, jangan patah semangat, kembangkan sayap
sendiri, tak usah melihat sayap yang lain. Atau nanti, malah kita tak jadi
terbang.
3. Embrace Fear
Ketakutan adalah hal yang wajar. Takut
gagal? Takut untuk tidak siap melakukan hal yang baru? Takut dengan apa yang
dipikirkan orang lain sehingga membuat kita berusaha terlalu keras untuk memenuhi
ekspektasi banyak orang terhadap diri kita? Maka, pahamilah semua ketakutan
itu, jadikan rasa takut tersebut sebagai media bagi kita untuk merancang jalan
ke depan dengan lebih baik, membuat what to do and what mustn't do. Rasa takut
hadir sebagai pengingat diri, bahwa segala sesuatu harus direncanakan dengan
matang. Sehingga jika ada hal yang tidak diinginkan terjadi, kita sudah tau
harus melakukan apa.
Saat lulus kemarin, bohong jika aku bilang
tidak ada rasa takut sama sekali untuk menyambut masa depan. Setelah ini harus
apa? Harus gimana? Harus kemana? Mengingat hari itu, rasanya aku tidak mau lagi
mengalaminya. Namun ternyata, jika diingat hari ini, hal tersebut mempunyai
dampak yang sangat baik, aku bisa menyusun rencana ke depan, harus apa dulu, kemudian
melakukan apa dan jika gagal harus bagaimana. Siapkan rencana terbaik pokoknya,
tapi juga jangan lupa, manusia hanyalah bisa berencana, ada Sang Sutradara yang
mempunyai hak veto lebih besar, akankah mengabulkan rencana kita, atau ternyata
ada rencana terbaik lain yang telah disiapkan untuk kita.
"If I'm not afraid to do
something, it's probably not worth my time." Ted Gonder
4. Define Meaningful Work (for yourself,
not for your friends or your parents)
Mencari arti dari 'meaningful work' itu sendiri
butuh waktu yang cukup lama. Kita harus menggali lebih dalam pada diri, apa
yang menjadikan 'meaningful work' itu benar-benar berarti bagi diri sendiri,
bukan hanya bagi orang lain. Setiap orang pun mempunyai 'meaningful work' yang
berbeda-beda, maka tak bisa jika kita hanya ikut-ikutan teman, atau menyamakan
diri kita dengan orang lain, find our own way! Menurut Poswolsky, ada 5
definisi yang secara besar dapat mencakup definisi bagi seseorang mengenai
'meaningful work' tersebut, dan kita dapat mengidentifikasinya sendiri. Di
antaranya:
1. Meaningful work reflects who we are
2. Meaningful work reflects our interest
3. Meaningful work allows us to share our
gifts
4. Meaningful work allows us to help
others
5. Meaningful work is financially viable
given our desired lifestyle
(For full criteria, see the picture)
So, what's your definition of meaningful
work? Go find and do it!
5. Align Our Gifts with Our Impact
Cobalah temukan suatu kesempatan atau
pekerjaan yang sesuai dengan tujuan kita saat ini. Hal yang membuat kita dapat
menerapkan bakat (personality, interest and skill) kita yang kemudian akan
memberikan dampak positif bagi sekitar dan juga dapat mendukung kualitas
kehidupan kita kelak. Menyingkronkan antara gifts, impact and
quality of life, bukanlah hal yang mudah, namun patut dan layak untuk dicoba.
Untuk saat ini, idealitas ku masih mengarahkan aku untuk kelak menjadi dosen,
karena apa? Ku mendambakan sekali dapat berkontribusi di dunia pendidikan dengan
lebih dalam kelak. Selain itu, aku juga bermimpi bisa tetap berada di dunia
penelitian dan juga bisa menerapkannya dalam pengabdian. Apa yang kupikirkan
selanjutnya? Tri Dharma Perguruan Tinggi, ketiga hal tersebut ada di dalamnya.
Untuk melakukannya, maka aku harus masuk dan menjadi bagian di dalamnya.
Sebenarnya untuk melakukan ketiga hal tersebut, tidak harus menjadi dosen
terlebih dahulu. Namun, menurutku, jika kita bisa berjalan di track yang lebih
dekat menuju tujuan, mengapa harus mencari track yang lain?
Sekali lagi, rencana tetaplah hanya sebuah
rencana. Sebagai seorang hamba kita hanya bisa memperjuangkan, biarlah mimpi
ini terus berkembang. Siapa tau di-aamiin-kan oleh semesta?
6. Is Graduate Shool Worth it?
Kalau kata Pak Sony Kusumasandjaja di
salah satu thread pada akun twitternya (@KusumasondjajaS)
"Memilih lanjut S2 harus dgn
pertimbangan matang & tujuan hidup yg jelas. Studi S2 itu masuknya butuh
persiapan, kuliahnya butuh perjuangan. Sayang bila digunakan utk sekedar
pelarian "daripada nganggur", atau cuma utk meraih gengsi." Jadi, penting atau tidak penting? it
depends. Namun ku setuju 1000% pada kata Pak Sony tersebut dan juga dengan yang
ditulis oleh Poswolsky, "Don't go to grad school because you don't know
what to do or because your parents think you should go. That's a 150.000
mistake. Go to grad school beacuse it will help you to achieve your
purpose."
Berarti kembali lagi, bagaimana rencana
hidup yang telah kita susun? Sudah kah menyusunnya? Atau masih membiarkannya
mengalir begitu saja? Tanyakan kembali kepada diri, apakah kita benar-benar
membutuhkannya?
Sudah hampir 1 tahun aku lulus S1. Setelah
lulus ku putuskan untuk bergabung dengan salah satu lembaga pendidikan di luar
sekolah (bimbingan belajar). Pengalaman apa yang aku dapat? Buaaaaanyaaak
sekali dan semua pengalaman itu sampai membuat ku berada di titik "I need
to study more. Ilmu ku belum cukup banyak untuk dibagikan." Dari titik
itulah, ku mulai kembali semangat membangunkan mimpi yang pernah dibangun saat
masa-masa S1 kemarin. Mencari dan mencuri waktu, dimana dan kapan aku bisa
menyiapkan syarat-syarat beasiswa, menyiapkan dan belajar untuk tes masuk
kampus sampai tes beasiswa. It really need an extra effort. Jadi, memang
benar-benar harus dipertimbangkan dan direncanakan dengan matang.
"Pada akhirnya, GELAR S2 itu sendiri
tidak dapat banyak berperan membantu keberhasilan karir kita. Dalam banyak
situasi, kinerja di pekerjaan seringkali tidak terkait dgn gelar pendidikan yg
kita miliki."
7. Get Our Inner Hustle On
Mungkin di sini maksudnya, bagaimana
caranya, apapun kondisinya, kita harus tetap bergerak. Dengan begitu, semangat
untuk menggapai tujuan dan mimpi kita akan tetap berpendar. Melatih diri untuk
mencintai diri sendiri juga salah satu bentuknya, dengan begitu kita akan lebih
memahamai apa yang diri kita citakan. Selain itu, di suatu titik, kita juga
harus belajar untuk keluar dari zona nyaman, apalagi jika hal tersebut dapat mendekatkan
kita dengan tujuan.
8. Plan Our Breakthrough
Lagi-lagi merencanakan. Ah, hal tersebut
memang salah satu hal penting yang harus disiapkan pada setiap perjalanan,
kadang jika tanpa perencanaan, kita tak akan tahu waktu yang tepat untuk
berhenti dan kapan harus berjalan kembali. Bisa-bisa tanpa perencanaan, kita
mengambil jalan yang salah atau bahkan jalan memutar yang bisa lebih menjauhkan
kita dari tujuan.
Investasikan waktu kita selama dalam masa
perencanaan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi sekitar dan bagi diri sendiri,
seperti mengikuti kegiatan pelatihan kepemimpinan, conference, workshop,
internship ataupun kegiatan volunteering. Percayalah, kita akan mendapatkan
banyak insight baru tentang hidup selama kegiatan tersebut dan secara tak
langsung akan meningkatkan kompetensi diri yang akan mengantarkan kita lebih
dekat pada tujuan.
9. Build Our Support System
Nah iniii, the most important thing we
should have in our life. Tanpa adanya support system, setinggi apapun mimpi kita, sebagus apapun rencana kita, mungkin kita tidak akan bisa melangkah sampai ke sana. Bagaimanapun,
kita butuh lingkungan dan orang-orang yang dekat dan sepemikiran dengan kita, orang-orang dan lingkungan yang dapat memberikan saran-saran membangun.
Orang-orang dan lingkungan yang dengan bersama mereka, kita merasa selalu ingin
berjuang dan tak pernah merasa sendirian. Huhu, I do really feel how people and
environment around me have so many impacts on me.
So, go find our support system. Tak
masalah jika memang harus meminimalisir pertemuan dengan orang-orang yang tidak
sejalan dengan kita, kadang itu adalah cara terbaik untuk tetap membuat mimpi
kita hidup.
10. Become a Breakthrough Hustler
Then, we arrive in the last step, yeay :D.
Inti dari semua langkah-langkah di atas adalah, untuk mencapai suatu tujuan,
mimpi, resolusi atau apapun itu, diperlukan usaha yang lebih. Dengan begitu
kita dapat meningkatkan kompetensi diri dan memantaskan diri untuk mendapatkan
hal-hal terbaik yang telah disiapkan olehNya untuk kita semua yang mau berusaha
lebih keras dalam menggapai mimpi.
Quarter Life Crisis bukanlah hal untuk
ditakuti, melainkan dijadikan sebagai media untuk diri agar bisa berkembang
menjadi pribadi yang lebih baik. Saat kita tahu apa yang akan kita lakukan
untuk melewatinya, maka QLC bukanlah menjadi halangan, melainkan akan menjadi
batu loncatan untuk mengupgrade diri menjadi insan yang lebih baik lagi.
Aku mencari artikel ini dan berusaha
mereviewnya sebagai sarana untuk menguatkan diri yang juga sedang ada di masa
QLC, hiks. Jika kamu sedang memasuki masa ini, aku hanya ingin kamu tahu, you're not alone! Aku dan mungkin ada orang di luar sana yang juga sedang berusaha melewatinya. Jadi, mari kita berusaha
bersama-sama. Jangan lupa saling mendukung dan mendoakan, agar kita bisa
melewati masa ini dengan baik. Sebesar apapun masalah yang kita hadapi, asal masih ada Allah yang Maha Besar di hati, masih akan ada harapan untuk diri.
"Success is embrassing the journey to
get closer to what you want to give to the world. If you take your breakthrough
seriously enough to take action and hustle to make your dreams for working with
a purpose. A reality, you can't fail." - Smiley Poswolsky
sumber:
QLC: 10 Steps to Turn Your Quarter Life Crisis into a Breakthrough: medium
Comments
Post a Comment