Menjadi Guru itu Pilihan, Bukan Cadangan
Di
malam minggu yang amat padat ini, aku bingung harus memilih pekerjaan yang
mana. Pusing melihat tulisan berlembar-lembar di word, mencari desain dan
referensi tabel yang dari siang tidak kunjung selesai. Niat belajar kimia dasar
pun ada di malam ini untuk persiapan ujian hari senin esok, tapi tanganku sudah
melekat dengan teman setia yang sekarang selalu menemaniku dari bangun sampai
tidur ini, bahkan tak jarang dia tidak tidur sebelum aku tertidur. Lalu banyak pekerjaan
random lainnya yang sebenarnya sudah ku rencanakan.
Namun
tiba-tiba tangan ini menuju ke sebuah blog, aku tidak bisa berhenti kalau sudah
terjebak dengan dunia stalking ini. Tanganku
terus saja men-scroll halaman web. Sampai suatu postingan, aku
terenyuh.
Bahkan seorang dokterpun ingin menjadi
guru.
Tiba-tiba dunia terasa berhenti. Aku merasa
tertusuk.
Seketika aku memutuskan berhenti
melanjutkan berlembar-lembar halaman word itu, untuk meluruskan rasa tertusuk
ini. Ini benar-benar mambuatku berfikir jutaan kali, kalau aku belum bersyukur.
Well, aku sedang mencari sebenarnya apa
yang membuat aku tidak bersyukur. Sepenuhnya aku telah menikmati semua
aktivitasku saat ini, tapi pada satu sisi, aku masih belum bisa terima. Sebenarnya
ini perasaan apa?
Aku mencoba menitinya dari awal mula aku
merasa seperti ini. Sebelumnya aku ingin bertanya, apa buruknya menjadi seorang
guru? Apa salahnya menjadi calon guru? Apa salahnya belajar di bidang pendidikan?
Apa ada yang salah?
Beberapa saat setelah pengumuman SBM,
tak sedikit yang bertanya kepadaku, kenapa jadi guru, kenapa ngga teknik aja? Dan
pertanyaan itu masih berlanjut sampai aku sudah menjalani satu semester di
tempatku sekarang menata hidup untuk masa depan. Ini kadang bikin aku, hmm
mungkin bisa dibilang minder. Ya, teman-temanku di SMA dulu memang yang
tertarik untuk jadi guru sangat minim, sebagai bukti yang meneruskan kuliah ke
bidang pendidikan pun ngga lebih dari 5.
Begitupun aku dulu, merelakan cita-cita
masa kecil yang memang ingin menjadi guru, dengan memilih pendidikan dokter dan
memperjuangkannya di SNMPTN ataupun di SBMPTN, mungkin ini yang dibilang hanya
untuk kebanggaan? Siapa sih, yang ngga bangga jadi seorang dokter ya kan? Namun
pada akhirnya, aku tetap berada pada cita-citaku saat kecil dulu sebagai
seorang yang berdiri didepan kelas dan dipanggil guru oleh banyak orang.
Ya, itu hanya segelintir ceritaku dulu
yang mungkin dapat menyimpulkan pandangan mayoritas orang tentang guru. Balik lagi
ke pertanyaanku tadi, apa sih salahnya jadi calon guru?
Oiya, fakta lain yang aku dapat dari
sekitar. Memang pada kenyataanya, mayoritas yang memilih guru ini adalah
sebagai pilihan terakhir. Dan pertanyaanku tentang apa salahnya jadi guru pun
makin besar. Aku makin bingung, kenapa semua orang (ngga semua sih, tapi
mayoritas) memilih ini sebagai pilihan terakhir........ sebenarnya apa yang
salah???
Aku harus mencari jawaban ini dimana? Aku
bingung, dan aku terus mengajukan pertanyaan yang sama sampai akhirnya aku
menemukan jawabannya.
Menurutku, yang salah adalah mindset
kita mengenai sosok guru itu sendiri. Banyak yang beranggapan bahwa menjadi
guru itu sangatlah mudah, tinggal berdiri di depan, lalu berbicara apa yang
sudah ada di buku. Jadi buat apa pake pendidikan segala?
Hello bro, sist. That’s totally wrong. Menjadi
guru tidak semudah itu, menjadi guru tidak sebatas membacakan buku yang
jelas-jelas murid pun bisa membacanya sendiri tanpa dibacakan. Menjadi guru
tidak hanya berbicara di depan murid tanpa ada bekal yang matang,
Menjadi guru adalah amanah yang sangat
berat, karena seorang guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. Tidak bisa
orang sembarangan yang menjadi guru. Seharusnya guru berasal dari lulusan
terbaik. Kalian tahu? Bahkan di Finlandia, negara yang sistem pendidikannya
paling maju, syarat menjadi guru adalah seorang master. Ya, guru menjadi sosok
yang sangat dihormati di sana.
Begitupun di Indonesia, guru tidak bisa
dianggap remeh, tanpa adanya guru mau jadi apa Indonesia? Tanpa adanya guru,
siapa yang bisa mengajarkan dokter-dokter hebat itu dunia kesehatan? Tanpa adanya
guru, siapa yang mengajarkan arsitek-arsitek, para teknisi dan profesi lainnya
yang bisa membangun Indonesia menjadi lebih baik?
Ya, itulah guru. Seorang yang kadang
anak muridnya sudah mempunyai mobil dimana-mana, namun sang guru sampai akhir
hayatnya tetap setia membagikan ilmu yang dia punya dengan kondisi yang tidak
jauh berubah dari keadaan awalnya.
Oleh karena itu, bagi para calon guru, luruskan
niat terlebih dahulu. Jangan lakukan sesuatu setengah-setengah. Mantapkan diri.
Lalu kemudian upgrade diri kita agar menjadi pribadi yang lebih baik. Tingkatkan
integritas kita sebagai sosok yang akan menjadi seperti mereka kelak. Pebaiki akhlak,
jangan biarkan profesi mulia ini terkotori oleh kita nantinya. Masa depan di tangan
kita, so choose your way.
.....kak :')
ReplyDelete