Menjadi Shalihah, Untuk Siapa?


Menikah, satu kata yang sering sekali didengar ketika memasuki usia ini. Sudah lama ingin menuliskan mengenai hal ini untuk mengisi ruang menulis, tapi berkali-kali juga berbicara pada diri sendiri, “Should I write about this?”

Setelah perjalanan yang belum begitu panjang, mendengar berbagai macam insight yang beragam dan komitmen ku di awal untuk menuliskan kembali ilmu yang ku dapat walau sedikit. Akhirnya, ku beranikan diri untuk mengangkat tema ini. Seperti yang sudah kita tahu pasti, bahwa menikah merupakan bagian dari ibadah yang Allah perintahkan kepada manusia. Bukankah setiap yang kita lakukan di kehidupan ini adalah untuk beribadah?

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melaikan agar mereka beribadah kepada-Ku" (QS. az-Zariyat: 56)

Menikah merupakan suatu bentuk ibadah yang dilakukan secara kontinyu sampai maut sendiri yang menghentikan. Dengan menikah, maka segala yang kita lakukan di dalamnya adalah tak lain dan tak bukan merupakan bentuk ibadah. Oleh karena itu, agar ibadah yang tak main-main itu dapat dilakukan dengan maksimal, banyak orang yang giat mempersiapkan diri untuk menjadi lebih baik, katanya. Belajar ke berbagai tempat dengan tujuan “Jodohku adalah cerminan diriku, maka aku harus menjadi baik agar mendapat jodoh yang baik.”

Aku sering merenungi kalimat di atas. Sepertinya, aku, mungkin kita, harus lebih hati-hati dalam menata niat. Memperbaiki diri adalah hal yang pasti dan mutlak harus kita lakukan, tapi jika tujuannya adalah hanya ingin bertemu dengan jodoh yang baik, lalu setelah bertemu? Akankah kata baik itu akan bertahan pada diri? Atau menghilang dalam hitungan hari? Terlalu percaya diri kah kita, akan bertemu dengan jodoh sebelum bertemu dengan mati? 

Yep, sebelum masuk ke inti bahasan, lagi-lagi kita harus memuhasabah diri dan senantiasa meluruskan niat kembali. Mengingatkan diri selalu bahwa segala yang kita persiapkan di kehidupan ini merupakan bekal yang kita tabung untuk ‘pulang’ esok hari. Cita-cita yang tercapai, mimpi yang terwujud, karir yang cemerlang, serta jodoh yang baik tak lain merupakan hadiah dari Allah atas segala usaha dan bekal yang kita persiapkan serta perantara kita untuk semakin mendekat kepada Yang Memberi Nikmat.

Saat ini, setelah ada seorang public figure yang menikah, sedang sangat trending pertanyaan

“Calon suami idamanmu, seperti apa?”

Sebelum bertanya mengenai calon suami idaman, karena aku menulis dari sudut pandang seorang wanita, maka aku harus bercermin terlebih dahulu dan menanyakan kepada diri kembali. Ingin mendapat sosok idaman, apakah diri sudah bisa menjadi seorang yang idaman pula? Hal ini mungkin seperti pernyataan “Ingin sukses, tapi sudah usaha belum?” Gitu, ya ngga sih?

Yang sering kita lupa adalah Al Qur’an mempunyai jawaban atas setiap pertanyaan.

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” (QS An Nur: 26)

Lalu, bagaimana parameter baik dan keji di sini? Jika memang wanita baik hanya untuk laki-laki baik, tidak ingatkah kita akan cerita Asiyah? Istri dari seorang yang kekejiannya bahkan sudah tidak dapat dinalar oleh manusia, Fir’aun. Apakah ayat ini tidak berlaku pada Asiyah? Jika pemahaman ini yang kita yakini, maka kita harus buka kembali Al Qur’an untuk menemukan jawabannya, dan ternyata ada.

“….Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu Tidak mengetahui.” [QS. Al Baqarah: 216]

Jadi, jawabannya? Hanya Allah yang tahu perihal baik buruk untuk kita, sedangkan kita? Hanya bisa berikhtiar dan bertawakal, sehingga apapun yang menjadi skenarioNya untuk kita, kita tahu dan sadar betul bahwa itu adalah skenario terbaikNya untuk kita. Itulah mengapa, harus sering muhasabah diri, agar tidak memperbaiki diri hanya untuk jodoh semata, karena nanti jika tidak sesuai ekspektasi, kita akan kecewa, hm. 

Lalu, kembali lagi pada pertanyaan untuk diri, bagaimana cara menjadi sosok istri yang idaman? Sebelum berbicara mengenai istri, kita singgung mengenai wanita itu sendiri, agar kembali meningkatkan rasa syukur kita karena telah diciptakan sebagai seorang wanita. Islam hadir untuk mengangkat harkat dan martabat kita sebagai wanita. Pada zaman jahiliyah, wanita merupakan makhluk yang sangat hina, bahkan jika seseorang tahu bahwa istrinya melahirkan anak wanita, sebagian dari mereka tak segan untuk menguburnya. Gambaran wanita saat masa jahiliyah pun tergambar dalam Al Qur’an

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS An Nahl: 58-59)

Kemudian Islam hadir, datang untuk memuliakan, mengangkat martabat dan melindungi wanita. Bahkan, dalam Al Qur’an terdapat surat khusus yang membahas mengenai wanita, karena wanita memang begitu istimewa, yaitu surat An-Nisa. 

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS An Nisa: 124)

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al Hujurat: 13)

Kedudukan laki-laki dan wanita sama di hadapan Allah. Wanita bukan diciptakan sebagai budak yang lebih rendah dari laki-laki, ataupun atasan yang lebih tinggi dari laki-laki, melainkan sebagai seorang yang sejajar yang mungkin dapat saling melengkapi dalam kehidupannya. Hal yang hanya membedakan antara keduanya adalah amal saleh dan ketakwaan. 

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS Al Ahzab: 35)

Bersamaan dengan turunnya ayat tersebut Allah menyatakan bahwa dalam pandangan Islam, kedudukan wanita sama dengan kedudukan laki-laki dalam hal ibadah dan iman yang dimilikinya. Wanita dan laki-laki berhak mendapatkan ganjaran serta ampunan Allah jika berbuat dosa. Dan yang paling penting, kedudukan wanita juga sama dalam hal kesempatan mendapatkan pahala, surga, dan kenikmatan di akhirat apabila mereka beriman, taat dan rajin melakukan amal saleh.

Pun, seorang wanita mempunyai peranan penting dalam setiap fase kehidupannya. 
Saat menjadi anak, seorang wanita dapat menjadi penghalang siksa neraka bagi kedua orang tuanya

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang diberi cobaan sesuatu karena anak-anak perempuan seperti itu, lalu ia berbuat baik kepada mereka maka anak-anak perempuan tersebut akan menjadi penghalang untuknya dari siksa neraka.” (HR. Bukhari no. 5995 dan Muslim no. 2629)

Saat menjadi istri, seorang wanita dapat menyempurnakan separuh agama dari suaminya. Bahkan, Islam mengatur agar seoarang suami memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang baik dalam segala aspek.

“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik”. (QS An Nisa: 19)

Saat menjadi ibu, ini bahkan lebih mulia, Rasulullah memuliakan ibu 3 kali dibandingkan dengan seorang ayah. Bahkan, surga pun ada di bawah telapak kaki seorang ibu.

“Wahai Rasulullah siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya? Rasulullah menjawab ; ‘Ibumu’, kemudian siapa? ‘Ibumu’, jawab beliau. Kembali orang itu bertanya, kemudian siapa? ‘Ibumu’, kemudian siapa, tanya orang itu lagi, ‘kemudian ayahmu’, jawab beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Lalu, kurang apa lagi kita sebagai sosok wanita? Setiap fase hidup yang sudah dijamin dan sangat begitu dimuliakan, tapi tak jarang dari kita yang berusaha mendobrak batas-batas fitrah bagi seorang wanita yang telah Allah tetapkan. Iya, tetap ada fitrah yang harus dijadikan sebagai acuan agar fitrah kita sebagai wanita tidak melenceng dari tujuan kita diciptakan. Semua aturan yang diberlakukan Allah itu adil. Maka Allah melarang untuk iri atas setiap perbedaan fitrah itu.

”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nisa’: 32)

Hikmah pembedaan hukum yang berkaitan pada wanita sejatinya adalah perlindungan terhadap kehormatan dan kesucian wanita itu sendiri, bukan untuk mengekang kebebasan. Jadi, keliru besar jika masih ada yang beranggapan bahwa wanita dipenjara dalam Islam dan dibatasi ruang geraknya. Islam justru menjaga wanita agar tetap sesuai dengan fitrahnya. Serta memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya bagi seorang wanita untuk mengembangkan diri dan potensi karena salah satu perannya yang sangat besar, yaitu sebagai pembangun peradaban pertama dalam keluarganya, seorang ibu.

Sudah tergambar dengan jelas ya, bahwa bersyukurlah kita yang ditakdirkan menjadi wanita, karena Islam memuliakan kita dengan penuh cinta. Bagaimana cara untuk bersyukurnya? Tentu dengan memaksimalkan segala hal yang menjadi potensi kita untuk bisa menjadi sebaik-baiknya wanita. Lalu, bagaimana dengan pertanyaan sebelumnya? Jika ingin bertemu dengan calon suami idaman, sudahkah diri ini menjadi sosok calon istri idaman? Seperti apa idaman yang dimaksud?

Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah (HR. Muslim no. 1467)

Manurut Ummu Balqis, the only way, dalam Islam untuk menjadi calon istri idaman adalah dengan menjadi wanita yang shalihah. Wanita shalihah adalah mereka yang bersifat Qanitaat (orang yang taat) dan Hafidhaat (orang yang menjaga diri) saat suaminya tidak ada. Selain itu, tentu kita bisa belajar banyak dari istri-istri Rasulullah, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, untuk menjadi sebaik-baiknya seorang istri. Tertulis dalam Al Qur’an yang menjelaskan bagaimana sosok seorang istri Rasulullah, tentu bukan hanya untuk kita baca bukan? Melainkan mentadabburinya serta berusaha paling tidak kelak saat menjadi seorang istri, kita bisa meniru dan mendekati perilaku istri-istri Rasulullah.

“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ahzab: 32-34)

(Tafsir ayat ini bisa dibaca di sini)

Sedang menjadi tren masa kini perdebatan mengenai peran seorang wanita setelah ia menikah. Ada yang pro dengan keputusan wanita hanya menjadi seorang ibu rumah tangga, ada juga yang menuntut haknya sebagai seorang manusia untuk tetap berkarir di luar rumah. Ada juga yang mengatakan untuk apa seorang wanita harus sekolah tinggi jika pada akhirnya hanya mengurus pekerjaan rumah, ada juga yang mendukung mati-matian hak seorang wanita untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.

Mengapa perdebatan ini terus terjadi tanpa adanya titik temu setelah bertahun-tahun lamanya? Padahal, jadi apapun seorang wanita, selama wanita itu paham akan fitrah yang tertanam pada dirinya bukanlah menjadi suatu masalah, ada syarat dan ketentuan yang berlaku pada setiap keputusan yang kita ambil. Hal ini dapat terjadi mungkin salah satunya adalah karena kita, wanita masa kini kehilangan role model yang dekat dengan islam. Ada banyak sekali potret Shahabiyah yang bisa kita jadikan pelajaran dan panutan dalam mengambil peran saat menjadi seorang istri.

Ibunda Khadijah Radiallahu'anha, enterpreneur yang sukses luar biasa, bahkan kabilahnya tersebar sampai negeri Syam. Namun, saat menjadi istri, beliau memainkan perannya dengan begitu baik. Beliau tidak lupa akan fitrahnya sebagai seorang wanita juga sebagai seorang istri Rasulullah.

Ibunda Aisyah Radiallahu'anha, seorang wanita yang sangat pandai, mendidik ummat dalam ilmu fiqih, pengobatan, beberapa kali ikut ke medan perang dalam membantu pengobatan para mujahid. Begitu kerennya beliau, namun tak pernah melupakan fitrahnya sebagai seorang wanita juga istri Rasulullah.

Fatimah Radiallahu'anha, istri dari salah satu khalifah, Ali bin Abi Thalib Radiallahu'anhu, serta anak dari Manusia teragung, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Meskipun berasal dari keluarga yang terpandang, kezuhudannya pada dunia, membuat Fatimah hidup dengan sederhana bersama Ali, tanpa pamrih ia mengerjakan setiap pekerjaan rumah sendiri. Dengan segala ketabahan dan tawakalnya pada Allah dalam melalui semua cobaan, Beliau dijanjikan menjadi salah satu dari 4 wanita penghuni surga.

Begitu banyak sosok shahabiyah yang tak sanggup aku jika harus menuliskan semuanya. Mereka semua mulia dengan perannya masing-masing. Mereka semua berhasil menjadi wanita yang sukses dalam jalurnya tanpa pernah meninggalkan fitrah dirinya. Untuk masa ini pun banyak sosok wanita, istri dan ibu yang begitu bagus dalam karirnya, tanpa sama sekali melupakan fitrah dirinya. Salah satu contohnya adalah Dewi Nur Aisyah. Seorang ahli epidemologi yang sudah berkiprah baik di dalam maupun luar negeri, namun di bio instagramnya masih tertulis "Ibu rumah tangga yang nyambi belajar"

MasyaAllah... Maka, saat di luar sana ada yang bisa melakukan banyak hal tanpa melupakan fitrahnya sebagai seorang wanita, istri dan ibu. Mengapa tidak? Dan mengapa juga harus selalu mendebatkan peran seorang wanita? Bukankah jadi apapun seorang wanita, jika ridha orang tua, ridha suami ada di tangannya, maka Allah pun ridha? Dan itulah sebaik-baik peran wanita, mengharap Ridha Allah dibalik setiap tindakannya.

Oleh karena itu, menjadi wanita yang shalihah, tidak hanya shalihah dalam lingkup individu, tetapi juga shalihah dalam segala aspek. Menurut Ummu Balqis, keshalihan seorang wanita dibagi ke dalam tiga aspek

1. Keshalihaan Individu:

Dalam menjaga keshalihaan individu, dapat kita pantau melalui 3 hal, yaitu IMAN-ILMU-ACTION

  • Dengan keimanan yang sudah lurus, kita akan lebih mudah mengenal diri dan tujuan kita hidup, sehingga menjadi apapun kelak, termasuk seorang istri, kita tidak akan mudah berjalan ke luar jalur yang telah ditentukan.
  • Kemudian, ilmu yang dimiliki, akan membantu kita untuk lebih beriman dan juga semakin banyak beramal sesuai dengan syariat, sehingga kita akan berjalan kepada Rabb semakin dekat.
  • Buah dari Iman dan Ilmu, akan membuat kita melakukan action dengan lebih mudah. Kita bisa melakukan amal shaleh, ibadah-ibadah harian dengan tenang, menjadi pribadi yang berakhlakul karimah sehingga dapat menghindari segala hal yang dapat menjauhkan diri dari Allah. 
2. Keshalihaan Domestik

Domestik yang dimaksud di sini adalah segala yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga. Yep, seorang wanita harus tetap menjaga keshalihaannya dalam berumah tangga. Hal yang dibutuhkan untuk menjaganya adalah
  • Ilmu: Seperti saat menjaga keshalihaan individu, setiap aspek hidup kita memang butuh ilmu, bahkan menjaga keshalihaan dalam berumah tangga pun juga dibutuhkan ilmu sehingga yang kita lakukan adalah hal yang berdasar dan dapat meningkatkan kehati-hatian kita dalam melakukan segala tindakan.
  • Visi Misi Pernikahan: 
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS At-Tahrim: 6)

Saat kita tahu, bahwa visi misi pernikahan yang paling tepat adalah bekerja sama sebagai tim untuk berlomba-lomba saling menyelamatkan satu sama lain dari api neraka dan meraih ridha Allah dalam setiap perbuatannya, maka suatu pernikahan akan menjadi sangat indah karena di dalamnya terdapat banyak ladang ibadah yang akan semakin mendekatkan keluarga itu kepada Allah.

Saat sudah paham dengan konsep ini, maka ujian apapun yang datang dalam berumah tangga, masing-masing individu akan ingat untuk saling menyemangati dan berjuang bersama untuk menghadapinya. Karena saat sudah paham konsep ini, suatu keluarga akan paham betul dengan amanah yang telah Allah titipkan dan harus dilakukan dengan daya juang yang maksimal untuk meraih ridha Allah dan saling melindungi dari jilatan api neraka. Hm, indah sekali.....
  • Seni Berumah Tangga:
Hal ini menjadi suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam hubungan pernikahan, Mengapa? Karena banyak sekali, perceraian yang dimulai dengan tidak harmonisnya hubungan antara suami dan istri karena keduanya kaku dan tidak mau saling menyesuaikan satu sama lain. Yang masuk dalam seni berumah tangga di antaranya adalah 

❤ Seni berkomunikasi. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, fitrah wanita dan pria berbeda pada beberapa aspek, termasuk dalam komunikasi. Dengan kita mengetahui cara berkomunikasi yang baik dan benar, maka akan memperkecil konflik yang terjadi.

❤ Manajemen Konflik. Manusia kadang tak luput dari kesalahan dan menimbulkan suatu masalah atau konflik adalah hal yang wajar, terlebih dalam kehidupan berumah tangga. Dengan kemampuan kita untuk menghadapi konflik yang terjadi, maka masalah yang terjadi akan selesai dengan kepala dingin, tanpa harus mengundang keributan.

❤ Mengatur Keuangan. Hal yang pasti harus dikuasai seoarng istri adalah menjadi manager keuangan dalam rumah tangganya. Dengan pengaturan yang baik, maka keberjalanan suatu keluarga juga akan menjadi baik.

3. Keshalihaan di ranah ummat · 

Setelah menikah tak menjadikan kita lupa untuk menjadi manusia yang bermanfaat seluas-luasnya. Bahkan seharusnya, karena sudah tidak lagi sendiri, kesempatan untuk bermanfaat bagi sekitar akan menjadi lebih besar. Kata teh Qoonit, setelah menikah itu, 1 + 1 bukan hanya menjadi 2, tapi seribu kali lipat kebaikan yang akan diraih, jika bisa memanfaatkannya semaksimal mungkin.


Banyak sekali hal yang harus disiapkan untuk menjadi wanita shalihah jika memang ingin menjadi sosok calon istri idaman. Tapi, ingat kembali, niatkan diri berproses hanya untuk Allah. Karir, jodoh, segala hal yang Allah berikan di dunia adalah semata hadiah untuk kita, karena tak henti berharap akan ridhaNya.

Selamat berlomba dalam menshalihahkan diri untuk meraih ridhaNya, Shalihah!






Notulensi Kajian Muslimah Academy, "Menjadi Calon Istri Idaman"
Oleh: Ummu Balqis
11 Juli 2020

Comments

Popular posts from this blog

Ucapan adalah Doa: Pascasarjana ITB

Dattebayo.

What doesn't kill you, makes you stronger!